Sebagian masyarakat terkadang enggan melakukan testing dengan berbagai alasan, meskipun mereka menunjukkan gejala covid 19. Sebagian beranggapan jika ketahuan Covid 19, maka akan dirumahkan dan tidak bisa mendapatkan penghasilan harian. Menanggapi hal ini, Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Covid 19, Sonny Harry B Harmadi mengungkapkan Satgas covid 19 belajar dari awal pengendalian Covid 19.
Jika menempatkan masyarakat sebagai objek, maka akan muncul stigma dan partisipasi masyakart tidak terbangun, sehingga yang positif Covid 19 dianggap kurang baik dan sebagainya. Lalu berakhir pada takut tes dan teridentifikasi covid 19. Satgas Covid 19 pun membuat strategi bagaimana penanganan Covid 19 dilakukan di level komunitas, dengan menempatkan masyakarat sebagai subjek.
Dengan adanya posko desa dan kelurahan ini, diharapkan semua warga di dalam komunitas di level terkecil seperti RT, RW dan kelurahan justru bergotong royong untuk pencegahan, penanganan dan seterusnya. "Kalau ada yang sakit, beberapa rumah atau lingkungan sekitar melakukan mikro lockdown. Ketika ditemukan beberapa kasus dalam satu lingkup komunitas tentu, dilakukan karantina wilayah," papar Sonny lagi. Selain itu masyarakat yang mengetahui ada warga yang terkonfirmasi positif harus saling support. Ada yang menyediakan makanan, obat obatan dan sebagainya. Sehingga terbangun gotong royong yang sudah menjadi akar budaya Indonesia.
"Kita berharap dengan pendekatan PPKM mikro melalui posko desa dapat menempatkan masyarakat sebagai subjek dalam penanganan Covid 19. Tidak ada stigma, sehingga tidak perlu takut ada tes dam tidak ada terbebani psikologis," tegasnya. Karena, orang yang terkena Covid 19 ditambah pula oleh stigma negatif malah akan menjadi beban pikiran dan memperburuk proses penyembuhan. Satgas Covid 19 juga dalam PPKM mikro telah mendorong duta perubahan perilaku sebanyak 163.000 mendukung posko desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.
Artikel ini merupakan bagian dari KG Media. Ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.